Rabu, 17 Oktober 2012

Women and Rain



Aku bertemu gadis itu beberapa hari yang lalu. Dia menatap hujan dengan penuh kenikmatan. Matanya begitu bersinar. Ah, memang mata bisa mengatakan segalanya. Aku sudah duduk bersamanya cukup lama di halte ini. Kurasa kami sama, duduk disini bukan menunggu bus. Tapi menunggu hujan. Hujan.

“Aku suka bau besi berkarat seperti ini, juga bau tanah yang terkena hujan.” Gadis itu memandangku, sambil tersenyum manis. 

“Eh?” Aku tergagap. Merasa seperti pencuri, karena memperhatikannya terus sejak setengah jam yang lalu.

Gadis itu kembali memperhatikan hujan. Dia julurkan tangannya ke pinggir halte. Tik, tik, tik. Tetes tetes hujan merayapi tangannya. “Mbak darimana?” Kuajukan pertanyaan basa-basi anak kuliah.

Dia tersenyum lagi dan memandangku lekat. “Kamu tahu? Akhir-akhir ini banyak orang bertanya padaku dengan kata mana, Kemana aja? Kok baru kelihatan? Kamu tahu? 2 kata sama yang kusampaikan lagi dan lagi pada mereka, Jalan-jalan. Dan tanggapan yang sama juga yang mereka katakan padaku, Jalan-jalan terus.” Mataku tebelalak. Tak mengerti yang dikatakannya.

“Yah, sampai kapanpun mereka bertanya, 2 kata itu akan terus mengiringi. Karena hidupku adalah perjalananku. Jika kujawab bekerja, kepenatan akan menggerayangiku. Jika aku jawab dari rumah sakit, ingatanku akan menuntunku ke suatu rasa frustasi menyadari bahwa diriku sakit. Jika kukatakan dari rumah, mereka tak akan percaya karena belum ada rumah pasti bagiku. Untuk itu kukatakan jalan-jalan. Karena perjalanan itu indah.” Lagi-lagi aku terpesona pada bahasa matanya. Matanya hitam, besar seperti mata kucing. Tapi penuh cahaya menurutku.

“Perjalanan itu menyenangkan. Perjalanan itu proses pembelajaran. Dengan berjalan kita akan berpindah. Mengerti satu tahapan kehidupan yang berbeda. Jika kita tidak melangkah 1 cm, kita tidak akan tahu bahwa disana ada duri. Atau jika kita tidak melangkah 1 cm selanjutnya, kita tidak akan tahu bahwa disana ada koin emas. Dan seperti itulah hidupku, berjalan, berjalan, dan berjalan.” Sambungnya lagi.

“Jika kamu tanya jalan mana yang kutuju. Aku tak tahu. Aku punya banyak mimpi dan tujuan. Tapi aku tak pernah merencanakan jalan itu harus lurus atau berbelok. Aku ikuti alur, seperti sungai yang mengalir, pasti mengalir bukannya waduk yang diam. Juga seperti angin yang selalu berhembus.

Aku suka jalan ke depan. Mundur itu tidak jelas. Terkadang jalan mundur itu membawa ketidakpastian. Bisa saja membuat terjatuh, karena mata kita tidak ada dibelakang. Jadi, kamu tadi tanya aku darimana? Dari jalan-jalan.” Dia mengakhiri jawabannya dengan senyuman. Kalian tahu, kupikir matanya benar-benar bisa berkata.

0 komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

Blogroll